Cari Blog Ini

Senin, 04 Mei 2015

Bagian 1


SEJARAH SIRA ARYA KANURUHAN
Wayan Adiartayasa
Bagian I
         Sejarah dalam arti menggambarkan kembali aktivitas yang telah dilakukan manusia pada masa lampau merupakan kesadaraan sejarah, yang senantiasa muncul dalam pikiran  atau cipta, rasa dan karsa.  Kesadaran akan menemukan jati diri, yang pada akhirnya menjadi ciri individu, kelompok, suku, atau bangsa, dan masih terus berkembang dalam kehidupan sehari-hari.    Sejarah keluarga sering ditemukan dalam bentuk tulisan seperti babad, pamancangah, atau cerita lisan yang hidup secara turun temurun pada masyarakat Bali.  Cerita mengenai riwayat para pendahulu mereka, dari generasi ke generasi berikutnya, seperti salah satu bentuk pemujaan yang tetap hidup dalam masyarakat adalah merajan, paibon, panti, batur, subak, kahyangan tiga, kawitan, dan pedarman.  Pemujaan tersebut selalu mereka laksanakan atas petunjuk dan bimbingan orang tuanya serta mereka melanjutkan tradisi tersebut secara berkesinambungan.   Oleh karena adanya pemujaan tersebutlah mereka akan lebih mengenal identitas dirinya, apakah mereka termasuk warga atau semeton Pasek, Pande, Bhujangga, Arya, Ksatrya, Dalem, Brahmana dan semeton lainnya. Sejarah Sira Arya Kanuruhan disampaikan dalam rubrik bersambung dari leluhur Sira Arya Kanuruhan di tanah Jawa dan perkembangannya pada pemerintahan raja-raja di Gelgel dan Semarapura Klungkung.

Pada tahun isaka 530 atau tahun 608,  sasih kawolu, titi 12, tanggal bulan terang, wara Pujut (bulan Februari-Maret), pada saat itulah Paduka Rahyang Dimaharaja Manu, datang ke pulau Jawa, Medang Kemulan, baginda dianggap sebagai dewa utama dipuja di sana, Baginda adalah yang pertama menjadi Rajadan bertahta di Medang Kemulan.  Kedatangan Baginda di pulau Jawa atas perintah ayahanda Baginda Bathara Guru, agar Baginda mengajarkan Dharma (agama Hindu) dan selanjutnya Baginda membangun istana di Medang Kemulan, dalam menjalankan tugas dan kewajiban selaku raja, Paduka  Rahyang Dimaharaja Manu, tidak melupakan ajaran kedyatmikaan yaitu melaksanakan yoga semadhi, memuja Dewa Surya.
Berkat ketekunan dan ketaatan Baginda dalam melaksanakan yoga semadhi, Baginda memperoleh wara nugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), masyarakat menganggap Baginda sebagai perwujudan Dewa utama, karena kehadiran Baginda di daerah tersebut tiada taranya.  Keadaan masyarakat menjadi selamat sejahtera, oleh karena hanya dharma yang Baginda utamakan. Kewibawaan, kebijaksanaan dan keadilan  yang Baginda miliki, menyebabkan berhasil dalam semua perintahnya, tahu dengan kejadian dahulu, sekarang dan yang akan datang, sehingga pemerintahan Baginda cepat menjadi termasyur di Nusantara dan negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi. 
Entah berapa lama Paduka Rahyang Dimaharaja Manu bertahta menjadi junjungan di Medang Kemulan, ibarat Dewata menjelma selalu melaksanakan tapa beliau, memberikan pelajaran memenuhi dunia.  Baginda akhirnya mengadakan keturunan, berkat jasanya dilahirkanlah keturunan Manu di Negara Medang Kemulan.  Baginda  berputra laki-laki utama satu orang yang bergelar Seri Jaya Langit.  Disebutkan bahwa Sri Jaya Langit berwajah tampan dan rupawan tida ada yang menyamai, dan sesudah berakhir pemerintahan Raja Paduka Rahyang Dimaharaja Manu, maka Sri Jaya Langit menggantikan kedudukan ayahanda menjadi raja di Medang Kemulan.  Adapun Sri Jaya Langit mempunyai putra seorang bernama Sri Werthi Kandayun yang akan melanjutkan menjadi raja di Medang Kemulan.  Diceritakan Sri Werthi Kandayun mempunyai putra seorang bernama Sri Kameswara Para Dewa Sikan dan disebutkan ibukota kerajaan adalah Watugaluh.  Sri Kameswara Para Dewa sikan mempunyai sorang putra yang diberi nama Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa.  Baginda merupakan manggala dalam perencanaan selaku yogiswara utama, mengarang tujuh jilid Sangkrita (“Sapta Sangkya Sangkrita”), yang menjadi aspek kesatuan tapsir para sarjana, hasil karya Bagawan Byasa, Bagindalah yang merubah delapan belas cerita Parwa hasil karya Pujangga Besar Bagawan Byasa (dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna/Kawi) karena Baginda sebagai raja berbudi pekerti luhur dan tidak ada yang menyamai, di dalam mengayomi masyarakat, berlandaskan kesetiaan dan ketulusan hati, merupakan pelindung masyarakat dalam wilayah kekuasaannya.
Begindalah yang mendalami “Bhrata” berbudi dharma sesungguhnya tugas seorang raja, menyelamatkan dan mangayomi negara dan rakyat, berlandaskan Satya Dharma, sebagai pelindung dunia, Baginda Maharaja Besar yang pertama, subur aman sentausa keadaan negara pada waktu beliau bertahta menjadi raja, tak ada durjana yang berani durhaka kepada beliau.  Demikianlah keutamaan beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Tungga Dewa.
Entah berapa lama Baginda bertahta menjadi raja, akhirnya baginda mengembangkan keturunan dan berputera dua orang pria dan wanita, putera yang tertua laki-laki bergelar Sri Kameswara, sebagai nama datuk beliau, adiknya perempuan Sri Dewi Gunapriya Dharma Patni, menjadi permaisuri Sri Udayana Warmadewa, melahirkan Sri Erlangga, Sri Marakata  dan Anak Wungsu. 
Adapun Sri Kameswara berputera tiga orang laki-laki dan perempuan, yang sulung bergelar Sri Kertha Dharma, beliaulah yang wafat di Jirah, yang kedua Sri Tunggul Ametung menjadi Bupati Tumapel, yang bungsu perempuan bernama Dewi Ghori dan diperistri oleh Empu Widha, yang berputera Dyah Medhawati, beliau mengalih ke tempatt sunyi, tinggal di kuburan.
Dikisahkan Sri Kameswara mempunyai seorang anak angkat putera Sri Udayana Warmadewa, yang dilahirkan di Bali, bergelar Sri Erlangga yang bertahta menjadi raja dan membangun istana di Negara Daha, dengan demikian empat oranglah putera Sri Kameswara, tiga orang termasuk putera laki-laki dan perempuan hanya satu orang.  Sri Erlangga tatkala masih muda diundang oleh Sri Kameswara dating ke Jawa.  Keberangkatan Sri Erlangga dari Bali ke Jawa didampingi oleh Narottama, dan sampai di tanah Jawa (Daha), tatkala sedang ada upacara di istana Raja Sri Kameswara diserang oleh musuh Raja Wurawuri secara mendadak.  Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun isaka 928 (1006 M), sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru antara pasukan Raja Sri Kameswara dengan pasukan Raja Wurawuri.  Pada pertempuran tersebut pasukan Raja Sri Kameswara mengalami kekalahan dan gugur serta istananya habis terbakar.  Kemudian Sri Erlangga bersama pendampingnya Narottama dapat menyelamatkan diri dari kepungan musuh dan menyingkir dalam hutan Wanagiri sambil menyusun dan merencanakan serangan balasan kepada Raja Wurawuri.
Setelah melakukan persiapan dan perencanaan yang matang Sri Erlangga mengadakan serangan balasan kepada Raja Wurawuri, dan terjadilah peperangan yang lebih dahsyat, yang akhirnya peperangan dimenangkan oleh pasukan Sri Erlangga. Kerajaan Daha yang dahulunya dikuasai oleh pamannya Sri Kameswara dapat direbut kembali dan menjadi daerah kekuasaannya.  Kemudian Sri Erlangga menjadi raja Daha dengan gelar Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa.  Sedangkan pendamping setianya Narottama diangkat sebagai Rakryan Kanuruhan bergelar Mpu Dharmamurthi Dhanasura.  Sri Erlangga sebagai pewaris Kerajaan Daha, pada tahun 1021 atau saka 943 memindahkan dan membangun ibukota baru yang terletak di kaki gunung Pananggungan diberi nama Watanmas.  Kemudian oleh karena keadaannya kurang aman dan sering ada musuh, Sri Erlangga memindahkan ke desa Patokan, yang selanjutnya dijadikan Ibukota Kerajaan yang disebut dengan nama Kahuripan, berlokasi disebelah timur gunung Penanggungan dan peristiwa tersebut diperkirakan terjadi tahun 1037 atau saka 959.  Kemudian pada tahun 1042 atau saka 964 Ibukota dipindahkan kembali ke Daha.
Adapun Sri Erlangga beputera dua orang yang utama atau tiga orang termasuk putera penawing, namanya satu persatu ialah: yang sulung bergelar Sri Jayabhaya, adiknya bergelar Sri Jayasabha dan putera penawing bernama Arya Buru (beribu Kayuwangsa), serta seorang puteri, bernama Sri Dewi Kili Endang Suci (Rake Kapucangan nama lainnya), tetapi hatinya tidak terpengaruh lagi untuk menjadi raja, sebab beliau seorang wanita yang taat kepada berata tidak bersuami, hanya melaksanakan tugas kependetaan, itulah sebabnya beliau hidup di pegunungan sebagai pertapa. 
Adapun Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha, tidak henti-hentinya berselisih dengan saudara, karena terjadi perebutan waris tahta kereajaan.  Untuk mengatasi sengketa tersebut dan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pada tahun 1042 saka 964, Sri Erlangga mengutus Bhagawanta kerajaan yaitu Mpu Baradah untuk menghadap Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, mohon agar Mpu Kuturan berkenan menerima salah seorang putra Sri Erlangga sebagai raja di Bali.  Hal ini dilakukan di samping karena terjadinya sengketa antara kedua orang putranya, Sri Erlangga merasa masih memiliki hak waris atas tahta kerajaan ayahandanya Sri Udayana Warmadewa di Bali.
Namun permohonan tersebut ditolak oleh Mpu Kuturan, dengan penjelasan bahwa rakyat Bali menghendaki agar kepemimpinan tetap ditangan dinasti Udayana Warmadewa.  Rakyat Bali menganggap bahwa Sri Erlangga telah meninggalkan hak waris kerajaan di Bali, dengan bukti tidak lagi menggunakan jati diri Warmadewa, melainkan sudah menggunakan sebutan Dharmawangsa sebagai jati dirinya.  Mpu Kuturan sendiri telah menetapkan Raja Bali adalah Anak Wungsu putra bungsu dari Sri Udayana Warmadewa dengan Sri Guna Prya Dharma Patni, yang masih adik kandung Sri Erlangga.  Setelah adanya penolakan  dari Mpu Kuturan, maka usaha Mpu Bharadah untuk meredakan sengketa dan perselisihan kedua putra Sri Erlangga mengalami kegagalan.  Untuk mengatasi sengketa dan perselisihan tersebut, atas nasehat Mpu Bharadah disarankan agar Kerajaan Daha dibagi menjadi dua buah kerajaan, dengan nama Panjalu dan Janggala, pada tahun 1042 atau saka 964  atau (Sagara Ghanesiya warsaning candra sangkala yang mungkin berarti : Sagara = 4, Ghara = 6, Siya = 9). Kedua kerajaan tersebut masing-masing berdiri sendiri, dengan dipisahkan oleh sungai Wida dan sungai Porong, yang mengalir dari arah barat ke timur menuju laut Selat Madura sebagai batas.  Kerajaan Panjalu terletak disebelah timur sungai dikuasi oleh Sri Jayabhaya dan dinobatkan menjadi raja Panjalu dengan gelar “Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dan Kerajaan Jenggala terletak disebelah barat sungai dikuasai oleh Sri Jayasabha dan dinobatkan menjadi raja Jenggala dengan gelar Sri Maharaja Mapanji Garasakan atau disebut juga Sri Maharaja Alanjung Ayes.
Sengketa dan perselisihan antara dua bersaudara tidak kunjung reda dan berakhir, sebaliknya semakin lama semakin tegang, kemudian memuncak dan akhirnya pada tahun 1044 atau saka 966, terjadi perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala.  Sebagaimana kita ketahui akibat dari peperangan banyak korban jiwa  dan kehancuran harta benda terjadi pada kedua belah pihak.  Pada peperangan ini Kerajaan Panjalu jauh lebih unggul daripada Kerajaan Jenggala, sehingga Kerajaan Panjalu memperoleh kemenangan.  Daerah Kerajaan Jenggala menjadi daerah taklukan Kerajaan Panjalu, kemudian Sri Jayasabha berhasil menyelamatkan diri dan meninggalkan istana serta menyingkir ke tengah hutan Narsma.  Oleh karena keberhasilan dan  kemenangan dalam peperangan maka Sri Jayabhaya diberi julukkan “Sri Jayengrana” atau menang dalam peperangan dan juga disebut “Sri Linggajaya” atau unggul dalam pertahanan/kedudukan.
Adapun Sri Jayabhaya berputera laki-laki tiga orang, yang sulung bergelar  Sri Aji Dandang Gendis, yang kedua Sri Siwa Wandhira, dan yang bungsu Sri Jaya Kusuma. Sri Aji Dangdang Gendis berputera Sri Jayakatong.  Sri Jayakatong berputera Sri Jayakatha.  Kemudian Sri Siwa Wandhira berputera  Sri Jaya Waringin dan  Sri Jaya Kusuma berputera Sri Wira Kusuma, mengadakan keturunan di pulau Jawa, mahir dalam Agama Islam, kemudian berganti nama menjadi Raden Patah menjadi raja Demak.
Diceritakan  kembali Sri Wira Wandhira dan  Jayakatong gugur di dalam peperangan dengan Kerajaan Tumapel. Ketika kedua ayahandanya gugur dalam pertempuran, maka Kerajaan Daha mengalami kekacauan, terjadi hura hara, terus  terjadi bencana hingga keturunan beliau, kemudian Sri Jaya Waringin dan Jayakatha bersama-sama menyerahkan diri ke Tumapel. Ternyata terjadinya kekacauan dan bencana di Kerajaan Daha, akibat adanya  kutukan dari para pendeta Siwa Budha, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan.
Dahulu kala pada tahun saka 1144 (catur = 4, sagar = 4, eka = 1, tanggal 1) tahun 1222 masehi.  Bulan kedelapan, titi ketiga pada bulan mati, wuku Watugunung, pada saat itulah baginda Raja Sri Aji Ken Arok, yang bertakhta sebagai Raja Tumapel, memerintahkan untuk menyerang kerajaan Daha, berkat desakan para pendeta Siwa dan Budha.  Kisah Sri Aji Dangdang Gendis yang durhaka kepada para pendeta, menghina dan menentang keyakinan dharma sang pendeta, sebagaimana halnya Maharaja Nuhusa, berkeinginan menguasai Indraloka, demikian perilaku Baginda Sri Aji Dangdang Gendis.  Oleh karena itu para pendeta merasa resah, pindah mengungsi ke Tumapel, mohon perlindungan kepada Raja Sri Aji Ken Arok.  Kini kerajaan Daha ibarat rumput yang kering sebesar gunung keadaanya, terbakar hangus oleh segumpal api yang nyalanya menjulang ke angkasa.  Siapakah sebagai apinya? Itulah kemarahan Sang Pendeta, yang membara di hati nurani beliau, dengan hembusan nafas laksana angin kencang, Sri Aji Ken Arok menghancurkan, dan semakin menyala-nyala tanpa ada rintangan, yang pada akhirnya Sri Aji Dangdang Gendis mengalami kekalahan.   Kemudian Sri Aji Dandang Gendis telah menyadari akan tiba saat wafatnya, sebab Sri Aji Ken Arok benar-benar keturunan Brahma, yang dijuluki Dewa Guru.  Oleh karena itu Sri Aji Dangdang Gendis, melaksanakan yoga menenangkan hati, menyatukan bathin, seketika lenyap tanpa meninggalkan jasad.
Para prajurit dan menteri yang gagah berani serta sanak keluarga yang masih hidup, mereka berpencar mencari tempat yang terlindung, untuk bersembunyi, agar terhindar dari kejaran musuh.  Karena Sri Jayakatong dan Sri Siwa Wandhira sebagai Panglima Perang masing-masing telah gugur dalam memenuhi tugas sebagai ksatriya utama.  Masih ada dua orang, pimpinan dari keluarga utama, putera dari Sri Jayakatong dan Sri Siwa Wandhira, yang terkenal Sri Jayakatha dan Sri Jaya Waringin, mereka berdua sangat marah atas kematian ayahnya di medan laga, bergerak maju menyerang bagaikan harimau yang garang.  Tiba-tiba dikurung dan direbut oleh empat kesatria perkasa, yang masing-masing namanya: Arya Wangbang, Misa Rangdi, Bango Samparan, dan Cucupu Rantya.   Pada saat Sri Jayakatha dan Sri Jaya Warngin ditangkap, tanpa perlawanan, bersama istri Sri Jayakatha sedang mengandung/hamil ikut diajak lari ke Tumapel.   Adapun Sri Jaya Waringin masih perjaka belum beristri. 
Keempat menteri tersebut di atas, merasa iba hatinya kepada Sri Jayakatha dan Sri Jaya Waringin. Mereka berdua selamat dan terhindar dari maut.  Setelah tiba di Tumapel, dikasihi oleh baginda raja Tumapel, dijadikan anak oleh warga Gajah Para, keturunan keluarga isterinya Sang Andok, dan keluarga Kebo Ijo, disanalah mereka dilindungi tetapi tanpa kedudukan/kekuasaan.
Entah berapa lamanya tinggal di Tumapel, yang akhirnya Sri Jayakatha berputera tiga orang, yang sulung bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng, apa sebabnya diberi julukan “Dalem Manyeneng?” sebab bayi dalam rahim masih hidup ketika sang ibu dilarikan, sedang adiknya bernama Arya Katanggaran, dan yang bungsu bernama Arya Nudhata.  Arya Wayahan Dalem Manyeneng kemudian mempunyai putera dua orang laki-laki bernama Arya Gajah Para dan Arya Getas.  Arya Katanggaran putera kedua dari Sri Jayakatha beristrikan keturunan Kebo Ijo, di Tumapel beliau berputera sorang laki-laki, bernama Kebo Anabrang.  Kemudian Prabu Kerthanegara raja Singosari menugaskan atau mengutus Kebo Anabrang untuk menggempur negeri seberang yang bernama Melayu, sebab beliau ingin menyunting putri utama negeri seberang, yang mempunyai paras cantik dan bernama Diyah Dara Petak dan Diyah Dara Jingga.
Kini diceritakan  Kebo Anabrang telah kembali dari Negara Malayu, sebab beliau telah berhasil dengan gemilang mengemban perintah raja Siwa-Budha (Kerthanegara).  Kemudian  beliau menghadap raja Majapahit, dan untuk mempersembahkan dua orang putri Kerajaan Melayu yang bernama Dyah Dara Petak dan Dyah Dara Jingga. Amatlah gembira hatinya raja Majapahit, lalu beliau menitahkan agar Kebo Anabrang menetap tinggal di Majapahit, mengabdi kepada raja, oleh karena negara Singosari telah dikuasai oleh Majapahit.  Sehubungan dengan keberhasilan menyunting Dyah Dara Petak dan Dyah Dara Jingga maka Kebo Anabrang diberikan gelar “Sirarya Sabrang”.  Kemudian Sirarya Sabrang menetap di Majapahit, bersama dengan istrinya yang juga berasal dari keturunan Singasari.  Beliau mempunyai seorang putra dan diberi nama “Arya Kebo Taruna”.  Karena kepandaian dan kecerdasannya dalam peperangan, kemudian Arya Kebo Taruna diberi gelar “Arya Singha Sardhula” dan nama ini yang terkenal di masyarakat. 
Diceritakan pasukan kerajaan Majapahit menggempur kerajaan Bedahulu di Bali dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada.  Mereka semua siap berangkat dengan kendaraan perahu untuk menggempur pulau Bali dari tiga jurusan.  Beliau Mahapatih Gajah Mada menuju pulau Bali bagian timur, dibantu oleh para menteri/patih yang lain, mendarat di Tohlangkir (Tianyar), dari bagian utara, beliau Arya Damar, dibantu oleh Arya Senntong dan Kuthawaringin mmendarat di pantai Ularan. Beliau Arya Kenceng bersama dengan Arya Belog, Arya Pengalasan dan Arya Kebo Taruna mendarat di Bali Selatan menuju desa Kuta.  Setelah Arya Kebo Taruna dan para Arya sampai di desa Kuta langusng mendapat perlawanan dari pasukan Bali yang dipinpim oleh Ki Gudug Basur dengan pangkat Demung dan Ki Tambyak yang berumah di Jimbaran, diikuti oleh rakyat setempat, luar biasa perlawanannya, gemuruh suara gamelan berpadu dengan dentingan senjata, banyak rakyat yang mati dan menderita luka-luka, rakyat Bali menderita kekalahan, lalu  mundur.  Selanjutnya Ki Tambyak dan Ki Gudug Basur direbut oleh Arya Kebo Taruna dan para Arya Majapahit lainnya, tak terlukiskan hebatnya  pertempuran, semua ahli dalam pertempuran, pada akhirnya Ki Tambyak terbunuh, mati dipenggal oleh beliau Arya Kebo Taruna dan Arya Kenceng, kini tinggal Ki Gudug Basur, direbut banyak orang, kuat dan teguh, tak terlukai oleh senjata (kebal senjata).  Semakin lesu perlawanannya, karena payah/lelah badannya, kemudian mati tanpa siksaan.  Seminggu setelah kematian Ki Gudug Basur pesisir pulau Bali dapat dikuasai oleh pasukan Majapahit dan kini tinggal Kryan Pasung Gerigis masih tetap bertahan di Tohlangkir.  Berkat kepandaian, kecerdasan dan kearifan Mahapatih Gajah Mada menerapkan daya upaya dan siasat perangnya, akhir Bali berhasil ditaklukkan Majapahit.
Setelah Raja Majapahit mendengar pulau Bali takluk, maka diutuslah Ki Kuda Pangasih menghadap Mahapatih Gajah Mada “Paduka Gusti Patih, sebab telah berhasil memperoleh jasa, Paduka Gusti disuruh segera kembali ke Jawa”.  Sebab telah lama kiranya Paduka Gusti meninggalkan kerajaan”.  Jawab Mahapatih Gajah Mada, bahwa niatnya tidak menentang sabda Maharaja, hanya sementara sedang mengatur para Arya yang berkompeten untuk mempertahankan pulau Bali.  Lanjut disidangkan semua para Arya terkucuali Arya Damar, semua diperintahkan untuk berlomba-lomba memimpin daerah-daerah, menguasai tempatnya masing-masing, diantaranya Arya Kuthawaringin di Gelgel, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belok di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kebo Taruna di Tangkas, Kryan Punta di Mambal, Kryan Jerudeh di Tamukti, Kryan Tumenggung di Patemon, Arya Demung Wang Bang turunan Kediri di Kertelangu, Arya Sura Wang Bang turunan Lasem di Sukahat, Arya Wang Bang turunam Mataram, bebas memilih tempat di mana saja, Arya Melel Cengkerong di Jaranbana, Arya Pamacekan di Bon Dalem, para patih keturunan brahmana semua ditugaskan di pulau Lombok (Selaparang).
Berkat keberhasilan Arya Kebo Taruna dan para Arya lainnya menjaga keamanan pulau Bali, beliau terus menetap di desa Tangkas Bali sampai ditetapkan Adipati Raja dari Maharaja Majapahit. Pada tahun 1352 Maharaja Majaphit menetapkan Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan, sebagai Adipati Raja di Pulau Bali yang berkedudukan di  Samprangan.  Arya Kepakisan ditetapkan patih Agung berkedudukan di desa Gelgel, Arya Kutawaringin sebagi Tumenggung  berkedudukan di desa Gelgel, dan Arya Kebo Taruna diangkat menjadi “Sekretaris Raja” (penyarikan raja)  dan diberikan gelar “SIRA ARYA KANURUHAN” yang berkedudukan di desa Tangkas. 
Entah berapa lama sudah Sira Arya Kanuruhan tinggal di desa Tangkas, kemudian beliau membangun dan menata rumah yang dilengkapi dengan merajan untuk kegiatan bilau sehari-hari.  Rumah dan merajan beliau ini merupakan pengawit berdirinya pura “Kawitan Tangkas Kori Agung”.  Kemudian diceritakan Sira Arya Kanuruhan mempunyai putra tiga orang yang sulung benama Kyayi Arya Brangsinga, adiknya bernama Kyayi Arya Tangkas dan yang bungsu bernama Kyayi Arya Pegatepan.  Ketiga putra beliau inilah yang akan melanjutkan pengabdiannya kepada raja Ida Dalem berikutnya. 

SEJARAH SIRA ARYA KANURUHAN SELANJUTNYA
TELAH TERBIT DALAM BENTUK BUKU
SILAKAN HUBUNGI 
"KOPERASI BINA PUSAKA"
Jl. RAYA BATUBULAN No. 63C GIANYAR BALI
Telp. 0361-292319