SEJARAH
SIRA ARYA KANURUHAN
Wayan Adiartayasa
Bagian
I
Sejarah dalam arti menggambarkan kembali
aktivitas yang telah dilakukan manusia pada masa lampau merupakan kesadaraan
sejarah, yang senantiasa muncul dalam pikiran
atau cipta, rasa dan karsa.
Kesadaran akan menemukan jati diri, yang pada akhirnya menjadi ciri
individu, kelompok, suku, atau bangsa, dan masih terus berkembang dalam
kehidupan sehari-hari. Sejarah
keluarga sering ditemukan dalam bentuk tulisan seperti babad, pamancangah, atau
cerita lisan yang hidup secara turun temurun pada masyarakat Bali. Cerita mengenai riwayat para pendahulu
mereka, dari generasi ke generasi berikutnya, seperti salah satu bentuk
pemujaan yang tetap hidup dalam masyarakat adalah merajan, paibon, panti,
batur, subak, kahyangan tiga, kawitan, dan pedarman. Pemujaan tersebut selalu mereka laksanakan
atas petunjuk dan bimbingan orang tuanya serta mereka melanjutkan tradisi
tersebut secara berkesinambungan. Oleh
karena adanya pemujaan tersebutlah mereka akan lebih mengenal identitas
dirinya, apakah mereka termasuk warga atau semeton Pasek, Pande, Bhujangga,
Arya, Ksatrya, Dalem, Brahmana dan semeton lainnya. Sejarah Sira Arya
Kanuruhan disampaikan dalam rubrik bersambung dari leluhur Sira Arya Kanuruhan
di tanah Jawa dan perkembangannya pada pemerintahan raja-raja di Gelgel dan
Semarapura Klungkung.
Pada
tahun isaka 530 atau tahun 608, sasih
kawolu, titi 12, tanggal bulan terang, wara Pujut (bulan Februari-Maret), pada
saat itulah Paduka Rahyang Dimaharaja Manu, datang ke pulau Jawa, Medang
Kemulan, baginda dianggap sebagai dewa utama dipuja di sana, Baginda adalah
yang pertama menjadi Rajadan bertahta di Medang Kemulan. Kedatangan Baginda di pulau Jawa atas
perintah ayahanda Baginda Bathara Guru, agar Baginda mengajarkan Dharma (agama
Hindu) dan selanjutnya Baginda membangun istana di Medang Kemulan, dalam
menjalankan tugas dan kewajiban selaku raja, Paduka Rahyang Dimaharaja Manu, tidak melupakan
ajaran kedyatmikaan yaitu melaksanakan yoga semadhi, memuja Dewa Surya.
Berkat ketekunan dan
ketaatan Baginda dalam melaksanakan yoga semadhi, Baginda memperoleh wara
nugraha dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), masyarakat
menganggap Baginda sebagai perwujudan Dewa utama, karena kehadiran Baginda di
daerah tersebut tiada taranya. Keadaan
masyarakat menjadi selamat sejahtera, oleh karena hanya dharma yang Baginda
utamakan. Kewibawaan, kebijaksanaan dan keadilan yang Baginda miliki, menyebabkan berhasil
dalam semua perintahnya, tahu dengan kejadian dahulu, sekarang dan yang akan
datang, sehingga pemerintahan Baginda cepat menjadi termasyur di Nusantara dan
negara dalam keadaan gemah ripah loh jinawi.
Entah berapa lama
Paduka Rahyang Dimaharaja Manu bertahta menjadi junjungan di Medang Kemulan,
ibarat Dewata menjelma selalu melaksanakan tapa beliau, memberikan pelajaran
memenuhi dunia. Baginda akhirnya mengadakan
keturunan, berkat jasanya dilahirkanlah keturunan Manu di Negara Medang Kemulan. Baginda
berputra laki-laki utama satu orang yang bergelar Seri Jaya Langit. Disebutkan bahwa Sri Jaya Langit berwajah
tampan dan rupawan tida ada yang menyamai, dan sesudah berakhir pemerintahan
Raja Paduka Rahyang Dimaharaja Manu, maka Sri Jaya Langit menggantikan
kedudukan ayahanda menjadi raja di Medang Kemulan. Adapun Sri Jaya Langit mempunyai putra
seorang bernama Sri Werthi Kandayun yang akan melanjutkan menjadi raja di
Medang Kemulan. Diceritakan Sri Werthi
Kandayun mempunyai putra seorang bernama Sri Kameswara Para Dewa Sikan dan
disebutkan ibukota kerajaan adalah Watugaluh.
Sri Kameswara Para Dewa sikan mempunyai sorang putra yang diberi nama
Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa. Baginda merupakan manggala dalam perencanaan
selaku yogiswara utama, mengarang tujuh jilid Sangkrita (“Sapta Sangkya
Sangkrita”), yang menjadi aspek kesatuan tapsir para sarjana, hasil karya
Bagawan Byasa, Bagindalah yang merubah delapan belas cerita Parwa hasil karya
Pujangga Besar Bagawan Byasa (dari bahasa Sanskerta ke bahasa Jawa Kuna/Kawi)
karena Baginda sebagai raja berbudi pekerti luhur dan tidak ada yang menyamai,
di dalam mengayomi masyarakat, berlandaskan kesetiaan dan ketulusan hati,
merupakan pelindung masyarakat dalam wilayah kekuasaannya.
Begindalah yang
mendalami “Bhrata” berbudi dharma sesungguhnya tugas seorang raja,
menyelamatkan dan mangayomi negara dan rakyat, berlandaskan Satya Dharma,
sebagai pelindung dunia, Baginda Maharaja Besar yang pertama, subur aman
sentausa keadaan negara pada waktu beliau bertahta menjadi raja, tak ada
durjana yang berani durhaka kepada beliau.
Demikianlah keutamaan beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Tungga Dewa.
Entah berapa lama
Baginda bertahta menjadi raja, akhirnya baginda mengembangkan keturunan dan
berputera dua orang pria dan wanita, putera yang tertua laki-laki bergelar Sri
Kameswara, sebagai nama datuk beliau, adiknya perempuan Sri Dewi Gunapriya
Dharma Patni, menjadi permaisuri Sri Udayana Warmadewa, melahirkan Sri
Erlangga, Sri Marakata dan Anak
Wungsu.
Adapun Sri Kameswara
berputera tiga orang laki-laki dan perempuan, yang sulung bergelar Sri Kertha
Dharma, beliaulah yang wafat di Jirah, yang kedua Sri Tunggul Ametung menjadi
Bupati Tumapel, yang bungsu perempuan bernama Dewi Ghori dan diperistri oleh
Empu Widha, yang berputera Dyah Medhawati, beliau mengalih ke tempatt sunyi,
tinggal di kuburan.
Dikisahkan Sri
Kameswara mempunyai seorang anak angkat putera Sri Udayana Warmadewa, yang
dilahirkan di Bali, bergelar Sri Erlangga yang bertahta menjadi raja dan
membangun istana di Negara Daha, dengan demikian empat oranglah putera Sri
Kameswara, tiga orang termasuk putera laki-laki dan perempuan hanya satu
orang. Sri Erlangga tatkala masih muda
diundang oleh Sri Kameswara dating ke Jawa.
Keberangkatan Sri Erlangga dari Bali ke Jawa didampingi oleh Narottama,
dan sampai di tanah Jawa (Daha), tatkala sedang ada upacara di istana Raja Sri
Kameswara diserang oleh musuh Raja Wurawuri secara mendadak. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada
tahun isaka 928 (1006 M), sehingga terjadilah pertempuran yang sangat seru
antara pasukan Raja Sri Kameswara dengan pasukan Raja Wurawuri. Pada pertempuran tersebut pasukan Raja Sri
Kameswara mengalami kekalahan dan gugur serta istananya habis terbakar. Kemudian Sri Erlangga bersama pendampingnya
Narottama dapat menyelamatkan diri dari kepungan musuh dan menyingkir dalam
hutan Wanagiri sambil menyusun dan merencanakan serangan balasan kepada Raja
Wurawuri.
Setelah melakukan
persiapan dan perencanaan yang matang Sri Erlangga mengadakan serangan balasan
kepada Raja Wurawuri, dan terjadilah peperangan yang lebih dahsyat, yang
akhirnya peperangan dimenangkan oleh pasukan Sri Erlangga. Kerajaan Daha yang
dahulunya dikuasai oleh pamannya Sri Kameswara dapat direbut kembali dan
menjadi daerah kekuasaannya. Kemudian
Sri Erlangga menjadi raja Daha dengan gelar Sri Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa.
Sedangkan pendamping setianya Narottama diangkat sebagai Rakryan
Kanuruhan bergelar Mpu Dharmamurthi Dhanasura.
Sri Erlangga sebagai pewaris Kerajaan Daha, pada tahun 1021 atau saka
943 memindahkan dan membangun ibukota baru yang terletak di kaki gunung
Pananggungan diberi nama Watanmas.
Kemudian oleh karena keadaannya kurang aman dan sering ada musuh, Sri
Erlangga memindahkan ke desa Patokan, yang selanjutnya dijadikan Ibukota
Kerajaan yang disebut dengan nama Kahuripan, berlokasi disebelah timur gunung
Penanggungan dan peristiwa tersebut diperkirakan terjadi tahun 1037 atau saka
959. Kemudian pada tahun 1042 atau saka
964 Ibukota dipindahkan kembali ke Daha.
Adapun Sri Erlangga
beputera dua orang yang utama atau tiga orang termasuk putera penawing, namanya
satu persatu ialah: yang sulung bergelar Sri Jayabhaya, adiknya bergelar Sri
Jayasabha dan putera penawing bernama Arya Buru (beribu Kayuwangsa), serta seorang
puteri, bernama Sri Dewi Kili Endang Suci (Rake Kapucangan nama lainnya),
tetapi hatinya tidak terpengaruh lagi untuk menjadi raja, sebab beliau seorang
wanita yang taat kepada berata tidak bersuami, hanya melaksanakan tugas
kependetaan, itulah sebabnya beliau hidup di pegunungan sebagai pertapa.
Adapun Sri Jayabhaya
dan Sri Jayasabha, tidak henti-hentinya berselisih dengan saudara, karena
terjadi perebutan waris tahta kereajaan.
Untuk mengatasi sengketa tersebut dan guna menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, pada tahun 1042 saka 964, Sri Erlangga mengutus Bhagawanta kerajaan
yaitu Mpu Baradah untuk menghadap Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha, mohon agar
Mpu Kuturan berkenan menerima salah seorang putra Sri Erlangga sebagai raja di
Bali. Hal ini dilakukan di samping
karena terjadinya sengketa antara kedua orang putranya, Sri Erlangga merasa
masih memiliki hak waris atas tahta kerajaan ayahandanya Sri Udayana Warmadewa
di Bali.
Namun permohonan
tersebut ditolak oleh Mpu Kuturan, dengan penjelasan bahwa rakyat Bali
menghendaki agar kepemimpinan tetap ditangan dinasti Udayana Warmadewa. Rakyat Bali menganggap bahwa Sri Erlangga
telah meninggalkan hak waris kerajaan di Bali, dengan bukti tidak lagi
menggunakan jati diri Warmadewa, melainkan sudah menggunakan sebutan
Dharmawangsa sebagai jati dirinya. Mpu
Kuturan sendiri telah menetapkan Raja Bali adalah Anak Wungsu putra bungsu dari
Sri Udayana Warmadewa dengan Sri Guna Prya Dharma Patni, yang masih adik
kandung Sri Erlangga. Setelah adanya
penolakan dari Mpu Kuturan, maka usaha
Mpu Bharadah untuk meredakan sengketa dan perselisihan kedua putra Sri Erlangga
mengalami kegagalan. Untuk mengatasi
sengketa dan perselisihan tersebut, atas nasehat Mpu Bharadah disarankan agar
Kerajaan Daha dibagi menjadi dua buah kerajaan, dengan nama Panjalu dan
Janggala, pada tahun 1042 atau saka 964
atau (Sagara Ghanesiya warsaning candra sangkala yang mungkin berarti :
Sagara = 4, Ghara = 6, Siya = 9). Kedua kerajaan tersebut masing-masing berdiri
sendiri, dengan dipisahkan oleh sungai Wida dan sungai Porong, yang mengalir
dari arah barat ke timur menuju laut Selat Madura sebagai batas. Kerajaan Panjalu terletak disebelah timur
sungai dikuasi oleh Sri Jayabhaya dan dinobatkan menjadi raja Panjalu dengan
gelar “Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dan Kerajaan Jenggala terletak
disebelah barat sungai dikuasai oleh Sri Jayasabha dan dinobatkan menjadi raja
Jenggala dengan gelar Sri Maharaja Mapanji Garasakan atau disebut juga Sri
Maharaja Alanjung Ayes.
Sengketa dan perselisihan
antara dua bersaudara tidak kunjung reda dan berakhir, sebaliknya semakin lama
semakin tegang, kemudian memuncak dan akhirnya pada tahun 1044 atau saka 966,
terjadi perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Sebagaimana kita ketahui akibat dari
peperangan banyak korban jiwa dan
kehancuran harta benda terjadi pada kedua belah pihak. Pada peperangan ini Kerajaan Panjalu jauh
lebih unggul daripada Kerajaan Jenggala, sehingga Kerajaan Panjalu memperoleh
kemenangan. Daerah Kerajaan Jenggala menjadi
daerah taklukan Kerajaan Panjalu, kemudian Sri Jayasabha berhasil menyelamatkan
diri dan meninggalkan istana serta menyingkir ke tengah hutan Narsma. Oleh karena keberhasilan dan kemenangan dalam peperangan maka Sri
Jayabhaya diberi julukkan “Sri Jayengrana” atau menang dalam peperangan dan
juga disebut “Sri Linggajaya” atau unggul dalam pertahanan/kedudukan.
Adapun Sri Jayabhaya
berputera laki-laki tiga orang, yang sulung bergelar Sri Aji Dandang Gendis, yang kedua Sri Siwa
Wandhira, dan yang bungsu Sri Jaya Kusuma. Sri Aji Dangdang Gendis berputera
Sri Jayakatong. Sri Jayakatong berputera
Sri Jayakatha. Kemudian Sri Siwa
Wandhira berputera Sri Jaya Waringin
dan Sri Jaya Kusuma berputera Sri Wira
Kusuma, mengadakan keturunan di pulau Jawa, mahir dalam Agama Islam, kemudian
berganti nama menjadi Raden Patah menjadi raja Demak.
Diceritakan kembali Sri Wira Wandhira dan Jayakatong gugur di dalam peperangan dengan
Kerajaan Tumapel. Ketika kedua ayahandanya gugur dalam pertempuran, maka
Kerajaan Daha mengalami kekacauan, terjadi hura hara, terus terjadi bencana hingga keturunan beliau,
kemudian Sri Jaya Waringin dan Jayakatha bersama-sama menyerahkan diri ke
Tumapel. Ternyata terjadinya kekacauan dan bencana di Kerajaan Daha, akibat
adanya kutukan dari para pendeta Siwa
Budha, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan.
Dahulu kala pada tahun
saka 1144 (catur = 4, sagar = 4, eka = 1, tanggal 1) tahun 1222 masehi. Bulan kedelapan, titi ketiga pada bulan mati,
wuku Watugunung, pada saat itulah baginda Raja Sri Aji Ken Arok, yang bertakhta
sebagai Raja Tumapel, memerintahkan untuk menyerang kerajaan Daha, berkat
desakan para pendeta Siwa dan Budha.
Kisah Sri Aji Dangdang Gendis yang durhaka kepada para pendeta, menghina
dan menentang keyakinan dharma sang pendeta, sebagaimana halnya Maharaja Nuhusa,
berkeinginan menguasai Indraloka, demikian perilaku Baginda Sri Aji Dangdang
Gendis. Oleh karena itu para pendeta
merasa resah, pindah mengungsi ke Tumapel, mohon perlindungan kepada Raja Sri
Aji Ken Arok. Kini kerajaan Daha ibarat
rumput yang kering sebesar gunung keadaanya, terbakar hangus oleh segumpal api
yang nyalanya menjulang ke angkasa.
Siapakah sebagai apinya? Itulah kemarahan Sang Pendeta, yang membara di
hati nurani beliau, dengan hembusan nafas laksana angin kencang, Sri Aji Ken
Arok menghancurkan, dan semakin menyala-nyala tanpa ada rintangan, yang pada
akhirnya Sri Aji Dangdang Gendis mengalami kekalahan. Kemudian Sri Aji Dandang Gendis telah
menyadari akan tiba saat wafatnya, sebab Sri Aji Ken Arok benar-benar keturunan
Brahma, yang dijuluki Dewa Guru. Oleh
karena itu Sri Aji Dangdang Gendis, melaksanakan yoga menenangkan hati,
menyatukan bathin, seketika lenyap tanpa meninggalkan jasad.
Para prajurit dan
menteri yang gagah berani serta sanak keluarga yang masih hidup, mereka
berpencar mencari tempat yang terlindung, untuk bersembunyi, agar terhindar
dari kejaran musuh. Karena Sri
Jayakatong dan Sri Siwa Wandhira sebagai Panglima Perang masing-masing telah
gugur dalam memenuhi tugas sebagai ksatriya utama. Masih ada dua orang, pimpinan dari keluarga
utama, putera dari Sri Jayakatong dan Sri Siwa Wandhira, yang terkenal Sri
Jayakatha dan Sri Jaya Waringin, mereka berdua sangat marah atas kematian
ayahnya di medan laga, bergerak maju menyerang bagaikan harimau yang
garang. Tiba-tiba dikurung dan direbut
oleh empat kesatria perkasa, yang masing-masing namanya: Arya Wangbang, Misa
Rangdi, Bango Samparan, dan Cucupu Rantya.
Pada saat Sri Jayakatha dan Sri Jaya Warngin ditangkap, tanpa perlawanan,
bersama istri Sri Jayakatha sedang mengandung/hamil ikut diajak lari ke
Tumapel. Adapun Sri Jaya Waringin masih
perjaka belum beristri.
Keempat menteri
tersebut di atas, merasa iba hatinya kepada Sri Jayakatha dan Sri Jaya
Waringin. Mereka berdua selamat dan terhindar dari maut. Setelah tiba di Tumapel, dikasihi oleh
baginda raja Tumapel, dijadikan anak oleh warga Gajah Para, keturunan keluarga
isterinya Sang Andok, dan keluarga Kebo Ijo, disanalah mereka dilindungi tetapi
tanpa kedudukan/kekuasaan.
Entah berapa lamanya
tinggal di Tumapel, yang akhirnya Sri Jayakatha berputera tiga orang, yang
sulung bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng, apa sebabnya diberi julukan “Dalem
Manyeneng?” sebab bayi dalam rahim masih hidup ketika sang ibu dilarikan, sedang
adiknya bernama Arya Katanggaran, dan yang bungsu bernama Arya Nudhata. Arya Wayahan Dalem Manyeneng kemudian
mempunyai putera dua orang laki-laki bernama Arya Gajah Para dan Arya Getas. Arya Katanggaran putera kedua dari Sri
Jayakatha beristrikan keturunan Kebo Ijo, di Tumapel beliau berputera sorang
laki-laki, bernama Kebo Anabrang.
Kemudian Prabu Kerthanegara raja Singosari menugaskan atau mengutus Kebo
Anabrang untuk menggempur negeri seberang yang bernama Melayu, sebab beliau
ingin menyunting putri utama negeri seberang, yang mempunyai paras cantik dan
bernama Diyah Dara Petak dan Diyah Dara Jingga.
Kini diceritakan Kebo Anabrang telah kembali dari Negara
Malayu, sebab beliau telah berhasil dengan gemilang mengemban perintah raja
Siwa-Budha (Kerthanegara). Kemudian beliau menghadap raja Majapahit, dan untuk
mempersembahkan dua orang putri Kerajaan Melayu yang bernama Dyah Dara Petak
dan Dyah Dara Jingga. Amatlah gembira hatinya raja Majapahit, lalu beliau
menitahkan agar Kebo Anabrang menetap tinggal di Majapahit, mengabdi kepada
raja, oleh karena negara Singosari telah dikuasai oleh Majapahit. Sehubungan dengan keberhasilan menyunting
Dyah Dara Petak dan Dyah Dara Jingga maka Kebo Anabrang diberikan gelar “Sirarya Sabrang”. Kemudian Sirarya Sabrang menetap di
Majapahit, bersama dengan istrinya yang juga berasal dari keturunan Singasari. Beliau mempunyai seorang putra dan diberi
nama “Arya Kebo Taruna”. Karena kepandaian dan kecerdasannya dalam
peperangan, kemudian Arya Kebo Taruna diberi gelar “Arya Singha Sardhula” dan nama ini yang terkenal di masyarakat.
Diceritakan pasukan
kerajaan Majapahit menggempur kerajaan Bedahulu di Bali dibawah pimpinan
Mahapatih Gajah Mada. Mereka semua siap berangkat
dengan kendaraan perahu untuk menggempur pulau Bali dari tiga jurusan. Beliau Mahapatih Gajah Mada menuju pulau Bali
bagian timur, dibantu oleh para menteri/patih yang lain, mendarat di Tohlangkir
(Tianyar), dari bagian utara, beliau Arya Damar, dibantu oleh Arya Senntong dan
Kuthawaringin mmendarat di pantai Ularan. Beliau Arya Kenceng bersama dengan
Arya Belog, Arya Pengalasan dan Arya Kebo Taruna mendarat di Bali Selatan
menuju desa Kuta. Setelah Arya Kebo
Taruna dan para Arya sampai di desa Kuta langusng mendapat perlawanan dari pasukan
Bali yang dipinpim oleh Ki Gudug Basur dengan pangkat Demung dan Ki Tambyak
yang berumah di Jimbaran, diikuti oleh rakyat setempat, luar biasa
perlawanannya, gemuruh suara gamelan berpadu dengan dentingan senjata, banyak
rakyat yang mati dan menderita luka-luka, rakyat Bali menderita kekalahan,
lalu mundur. Selanjutnya Ki Tambyak dan Ki Gudug Basur
direbut oleh Arya Kebo Taruna dan para Arya Majapahit lainnya, tak terlukiskan
hebatnya pertempuran, semua ahli dalam
pertempuran, pada akhirnya Ki Tambyak terbunuh, mati dipenggal oleh beliau Arya
Kebo Taruna dan Arya Kenceng, kini tinggal Ki Gudug Basur, direbut banyak
orang, kuat dan teguh, tak terlukai oleh senjata (kebal senjata). Semakin lesu perlawanannya, karena payah/lelah
badannya, kemudian mati tanpa siksaan. Seminggu
setelah kematian Ki Gudug Basur pesisir pulau Bali dapat dikuasai oleh pasukan
Majapahit dan kini tinggal Kryan Pasung Gerigis masih tetap bertahan di
Tohlangkir. Berkat kepandaian,
kecerdasan dan kearifan Mahapatih Gajah Mada menerapkan daya upaya dan siasat
perangnya, akhir Bali berhasil ditaklukkan Majapahit.
Setelah
Raja Majapahit mendengar pulau Bali takluk, maka diutuslah Ki Kuda Pangasih menghadap
Mahapatih Gajah Mada “Paduka Gusti Patih, sebab telah berhasil memperoleh jasa,
Paduka Gusti disuruh segera kembali ke Jawa”.
Sebab telah lama kiranya Paduka Gusti meninggalkan kerajaan”. Jawab Mahapatih Gajah Mada, bahwa niatnya
tidak menentang sabda Maharaja, hanya sementara sedang mengatur para Arya yang
berkompeten untuk mempertahankan pulau Bali.
Lanjut disidangkan semua para Arya terkucuali Arya Damar, semua
diperintahkan untuk berlomba-lomba memimpin daerah-daerah, menguasai tempatnya
masing-masing, diantaranya Arya Kuthawaringin di Gelgel, Arya Kenceng di
Tabanan, Arya Belok di Kaba-kaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belentong di
Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kebo Taruna di Tangkas, Kryan Punta di Mambal, Kryan Jerudeh
di Tamukti, Kryan Tumenggung di Patemon, Arya Demung Wang Bang turunan Kediri
di Kertelangu, Arya Sura Wang Bang turunan Lasem di Sukahat, Arya Wang Bang
turunam Mataram, bebas memilih tempat di mana saja, Arya Melel Cengkerong di
Jaranbana, Arya Pamacekan di Bon Dalem, para patih keturunan brahmana semua
ditugaskan di pulau Lombok (Selaparang).
Berkat keberhasilan Arya Kebo Taruna dan para
Arya lainnya menjaga keamanan pulau Bali, beliau terus menetap di desa Tangkas Bali
sampai ditetapkan Adipati Raja dari Maharaja Majapahit. Pada tahun 1352
Maharaja Majaphit menetapkan Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan, sebagai Adipati
Raja di Pulau Bali yang berkedudukan di Samprangan. Arya Kepakisan ditetapkan patih Agung
berkedudukan di desa Gelgel, Arya Kutawaringin sebagi Tumenggung berkedudukan di desa Gelgel, dan Arya Kebo
Taruna diangkat menjadi “Sekretaris Raja”
(penyarikan raja) dan diberikan gelar “SIRA ARYA KANURUHAN” yang berkedudukan di desa Tangkas.
Entah
berapa lama sudah Sira Arya Kanuruhan tinggal di desa Tangkas, kemudian beliau
membangun dan menata rumah yang dilengkapi dengan merajan untuk kegiatan bilau
sehari-hari. Rumah dan merajan beliau
ini merupakan pengawit berdirinya pura “Kawitan
Tangkas Kori Agung”. Kemudian
diceritakan Sira Arya Kanuruhan mempunyai putra tiga orang yang sulung benama Kyayi
Arya Brangsinga, adiknya bernama Kyayi Arya Tangkas dan yang bungsu bernama Kyayi
Arya Pegatepan. Ketiga putra beliau
inilah yang akan melanjutkan pengabdiannya kepada raja Ida Dalem berikutnya.
SEJARAH SIRA ARYA KANURUHAN SELANJUTNYA
TELAH TERBIT DALAM BENTUK BUKU
SILAKAN HUBUNGI
"KOPERASI BINA PUSAKA"
Jl. RAYA BATUBULAN No. 63C GIANYAR BALI
Telp. 0361-292319
SEJARAH SIRA ARYA KANURUHAN SELANJUTNYA
TELAH TERBIT DALAM BENTUK BUKU
SILAKAN HUBUNGI
"KOPERASI BINA PUSAKA"
Jl. RAYA BATUBULAN No. 63C GIANYAR BALI
Telp. 0361-292319